“Juru bicara kantor politik Taliban, Mohammad Naeem, menyatakan bahwa Taliban tidak ingin hidup dalam isolasi dan menyerukan hubungan internasional yang damai dengan seluruh negara di dunia. Taliban saat ini berusaha untuk memproyeksikan wajah yang lebih moderat. Kelompok ini menjanjikan untuk menghormati hak-hak perempuan Afganistan dan melindungi warga asing, dan seluruh masyarakat negara itu.”
TALIBAN berhasil menduduki Kabul dan Istana Kepresidenan pada hari Minggu tanggal 15 Agustus 2021 (CNN,15/8). Setelah satu bulan terus menggempur tentara pemerintah dan merebut kota-kota penting, akhirnya Kabul bisa dikuasai dan mengambil alih Istana Kepresidenan Afganistan.
Bagaimana Afganistan di bawah kendali Taliban? Adakah celah perdamaian di Afganistan? Salah satu konflik yang paling menyita perhatian dunia akhirakhir ini adalah konflik di Afganistan, seiring dengan ditariknya pasukan AS dari Afganistan.
Perang Afganistan telah berlangsung selama 19 tahun, diawali oleh Amerika Serikat kepada al- Qaeda dan Taliban lalu kemudian menjadi perang antara pemerintah Afganistan dan Taliban. Kejadian serangan teroris 9/11 yang dipimpin oleh Al-Qaeda telah menjadi pemicu awal perang Afganistan.
Deklarasi War of Terror oleh Presiden AS George WBush telah menjadikan terorisme sebagai musuh dunia yang harus dilawan bersama-sama dan dalam melawan teroris, AS mengintervensi dan menyerang Afganistan atau disebut sebagai Operation Enduring Freedom (OEF) ke Afganistan.
Bush dengan segera meminta pemerintah Taliban untuk menyerahkan pemimpin al-Qaeda Osama bin Laden yang bersembunyi di Afganistan, tetapi al-Qaeda justru didukung oleh rezim Taliban sehingga AS dengan sigap menyerang Afganistan.
Melalui deklrasi War on Terror, Bush menjadikan hal tersebut sebagai justifikasi untuk menggalang dukungan dari semua negara untuk menyerang dan mengintervensi ke al-Qaeda dan Taliban di Afganistan pada 7 Oktober 2001 (Taddeo, 2010) Selama intervensi dan serangan AS di Afganistan berlangsung, Taliban telah jatuh pada 2001 dan pemerintahan Afganistan yang terpilih telah menggantikan Taliban.
Perubahan dari rezim Taliban ke pemerintah Afganistan telah menjadi sebuah transisi ke pemerintahan yang demokratis (Thomas, 2020). Proses pemilihan presiden dan parlemen dilakukan dengan voting, bukan lagi menunjuk pemimpin dari sebuah perjanjian atau pilihan oleh beberapa pemimpin seperti di bawah rezim Taliban.
Pemilihan presiden pertama di Afganistan dilaksanakan pada tahun 2004 yang dimenangkan Karzai, kemudian pemilu tahun 2014 dan 2019 lalu dalam pemilihan presiden dimenangkan oleh Ashraf Ghani.
Kurang Optimal
Konflik Afganistan multidimensi, melibatkan aktor Afganistan, regional, dan global. Karena kompleksitas yang melekat, tidak ada pelaku tunggal yang memegang kunci penyelesaian krisis sehingga proses perdamaian di Afganistan berlangsung lama dan sulit serta diliputi skeptisisme (Kaura, 2018).
Peran komunitas internasional seperti PBB, serta negara adidaya dan negara kawasan dinilai kurang optimal dalam mengawal proses perdamaian di Afganistan.
Setidaknya ada tiga hal yang bisa menjadi harapan bagi terciptanya perdamaian yang hakiki di Afganistan, yaitu: Pertama, Taliban belajar Islam Moderat. Sejak 2017, ulama dan beberapa faksi di Afganistan telah melakukan dialog dan silaturahmi dengan melibatkan Nahdlatul Ulama (NU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Mereka sangat terkesima dengan fakta yang ada karena para ulama dan ormas di Indonesia mampu merajut perdamaian, khususnya dalam rangka membangun kecintaan pada Tanah Air. Para ulama Afganistan mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap peran-peran kultural dan kebangsaan yang dilakukan NU sejak sebelum kemerdekaan hingga saat ini.
NU terbukti menjadi pilar penting dalam membangun kecintaan pada Tanah Air dan melahirkan wawasan keagamaan yang moderat, toleran, dan humanis.
Sebagai organisasi sosial keagamaan, NU turut berperan dengan melakukan pendekatan kultural kepada para tokoh dan ulama Afganistan secara menyeluruh.
Kemudian berperan sebagai fasilitator dalam upaya mediasi antarpihak yang terkait dengan konflik, sehingga menghasilkan kesepakatan dan kerja sama yang berguna bagi perkembangan upaya perdamaian tersebut. NU diasumsikan tidak memiliki kepentingan yang bersifat politis, sehingga dengan mudah dapat menjalin hubungan dan mendapat kepercayaan, baik dari pihak pemerintah, tokoh masyarakat, organisasi lokal, ulama, serta kelompok militan seperti Taliban.
Setelah terbangun hubungan dan kepercayaan, melalui upaya mediasi, NU menjadi fasilitator sebagai penengah dalam dialog yang mempertemukan para tokoh dan ulama, sehingga kemudian melahirkan beberapa joint statement dan kerja sama. Salah satu buah kerja sama yang sangat penting bagi perkembangan proses perdamaian. Kedua, kehadiran NUA. Para ulama Afganistan berinisiatif untuk mendirikan Nadlatul Ulama Afganistan (NUA).
Nama organisasinya langsung menggunakan Nahdlatul Ulama, karena bagi mereka para ulama mempunyai peran penting dalam mengakhiri konflik dan membangun Afganistan. Jika para ulama mampu mendorong transformasi sosial dan politik yang lebih konstruktif, maka akan berdampak positif bagi masa depan Afganistan yang baik, karena tidak mudah mengajak Taliban untuk berunding, berdialog, dan bernegosiasi dalam mewujudkan perdamaian.
Ketiga, Taliban baru yang lebih moderat. Pernyataan juru bicara kantor politik Taliban, Mohammad Naeem, bahwa Taliban tidak ingin hidup dalam isolasi dan menyerukan hubungan internasional yang damai dengan seluruh negara di dunia. Naeem juga mengatakan bahwa Taliban saat ini berusaha untuk memproyeksikan wajah yang lebih moderat.
Kelompok ini menjanjikan untuk menghormati hakhak perempuan Afganistan dan melindungi warga asing, dan seluruh masyarakat negara itu. Serumit apa pun konflik yang terjadi di Afganistan, pasti ada celah yang bisa dilakukan untuk mewujudkan perdamaian yang hakiki.
Tentunya pihak-pihak yang berbeda di dalam negeri Afganistan harus memulai untuk memiliki rasa memiliki sebagai suatu bangsa yang utuh. Semoga perjalanan proses perdamaian yang cukup panjang di Afganistan segera berakhir dan perdamaian yang hakiki segera terwujud.(34)
–– Anna Yulia Hartati SIP MA, dosen Hubungan Internasional dan Kepala Laboratorium Diplomasi FISIP Universitas Wahid Hasyim Semarang.
Leave a Comment