KUDETA militer pada awal tahun 2021 seakan bukan hal yang asing bagi rakyat Myanmar. Sebelum pemilu demokrasi 2010 berlangsung, negara yang dulu dikenal dengan sebutan Burma itu berada di bawah kepemimpinan junta militer sejak 1962-2011. Pada tahun 1962 atau empat belas tahun setelah merdeka dari kolonial Inggris, Tatmadaw yang berada di bawah kepemimpinan Jenderal Ne Win menggulingkan pemerintahan sipil.
Sejak itu, Myanmar dikendalikan oleh rezim otoriter militer. Kudeta itu berlangsung akibat ketakutan militer atas pemerintah sipil yang mereka anggap gagal menindak gerakan etnis minoritas dan kelompok bersenjata. Kudeta 1962 terbilang awal dari ambisi Tatmadaw menguasai pucuk pemerintahan Myanmar. Sekitar 26 tahun kemudian, Myanmar diguncang protes massal yang berbuntut penggulingan Jenderal Ne Win. Pucuk kekuasaan kembali dipegang oleh junta militer yang baru. Sejarah berulang Kembali, tepatnya pada hari Senin (01/02/2020) pasukan militer menahan pemimpin defacto Myanmar Aung San Suu Kyi dan sejumlah politikus lainnya, sebelum mengambil alih kendali negara. Kudeta terjadi setelah ketegangan meningkat antara pemerintah sipil Suu Kyi dan militer setelah hasil pemilihan umum yang disengketakan. Dalam pemilu yang diadakan November 2015, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi memenangkan cukup kursi untuk membentuk pemerintahan. Kudeta merupakan suatu permasalahan internal dalam negara yang menyangkut pergantian kekuasan yang telah lama dan sering terjadi di berbagai negara. Mengapa militer melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil di Myanmar? Kudeta militer yang terjadi di Myanmar dikategorikan sebagai pengawal pretorian. Pengawal pretorian umumnya muncul jika pemerintahan sipil dianggap gagal dalam menjalankan kekuasaan dan militer akan langsung masuk ke dalam politik dengan mengambil alih kekuasaan dan memegang kekuasaan tersebut untuk sementara dengan alasan untuk memperbaharui dan memperbaiki arah kebijakan pemerintahan sebelumnya namun dengan cara melakukan perubahan sosial dan ekonomi yang antara lain merombak susunan pemerintahan sebelumnya secara drastis.(Eric. A. Nordlinger, 1990). Kudeta dan pretorianisme saling terhubung, karena hampir semua kudeta dilakukan oleh kalangan militer, padahal dalam demokrasi militer haram hukumnya untuk masuk dalam politik kecuali purnawirawan militer.
Myanmar yang dikenal sebagai negara dengan sistem pemerintahan junta militer, yang kerap kali menjadi pusat perhatian dunia dan masyarakat internasional atas berbagai isu global dan pelanggaran yang mana di dalamnya terdapat campur tangan militer yang ikut serta dalam lembaga politik serta menjalankan pemerintahan secara refresif dan otoriter melakukan berbagai pelanggaran HAM, pelanggaran demokrasi, serta pengusiran Rohingya.
Kesulitan Integrasi
Sejak Myanmar merdeka pada tanggal 4 Januari 1948, negara itu memiliki kesulitan untuk berintegrasi, bahkan sulit mencari identitas nasionalnya. Karena persaingan antaretnis yang bahkan saling mempersenjatai diri. Setidaknya ada 17 kelompok pemberontak bersenjata yang memperjuangkan otonomi dan bahkan kemerdekaan. Itu termasuk Arakan Army di Rakhine yang berpenduduk mayoritas etnis Rakhine yang sejak lama berperang melawan militer pemerintah pusat yang disebut Tatmadaw. Di Rakhine, etnis-etnis minoritas termasuk Rohingya, terjebak antara Tatmadaw dan Arakan Army sampai pada tahun 2013 sejumlah warga Rohingnya alumni Timur Tengah membentuk Arakan Rohingya Salvation Army. Kelompok-kelompok etnis bersenjata ini sudah seperti organisasi tentara profesional yang dilengkapi persenjataan canggih seperti peluncur granat dan bahkan kendaraan tempur. Bamar adalah etnis terbesar di Myanmar yang berjumlah 68 persen dari total penduduk.
Sisanya adalah puluhan etnis minoritas, termasuk tujuh etnis minoritas besar; Chin, Kachin, Kayin, Kayah, Mon, Arakan atau Rakhine, dan Shan. Ketujuh etnis itu menjadi mayoritas di tujuh negara bagian Myanmar yang dinamai sama dengan nama ketujuh etnis itu. Selain itu, ada tujuh kawasan dan daerah khusus ibu kota Naypyidaw yang semuanya berpenduduk mayoritas Bamar. Berdasarkan laporan dari Crisis Group pada 28 Agustus 2020, sebagaimana etnis-etnis minoritas lainnya di Rakhine, etnis Rohingya yang minoritas terbesar di negara bagian itu terjepit antara Arakan Army dan Tatmadaw. Melihat situasi seperti ini, tak heran hal pertama yang ditempuh Suu Kyi setelah memenangkan pemilu 2015 adalah rekonsiliasi nasional. Proyek rekonsiliasi nasional pun akhirnya mengalami kegagalan.
Penyebab Kudeta
Setidaknya ada tiga hal yang menjadi penyebab kudeta militer di Myanmar. Pertama, klaim Tatmadaw adanya kecurangan hasil Pemilu 8 November 2020. Hal ini berawal dari tuduhan kecurangan daftar pemilih dalam pemungutan suara, meskipun komisi pemilihan mengatakan tidak ada bukti yang mendukung klaim tersebut. Kedua, kegagalan pemerintah untuk menindaklanjuti tuduhan kecurangan tersebut. Militer juga mengatakan pemerintah gagal untuk menunda pemilihan karena pandemi Covid- 19. Ketiga, adanya intervensi asing. Adanya tuduhan dari Tatmadaw bahwa ada China yang menyetir politik domestik Myanmar sampai dianggap berada di balik kemenangan Suu Kyi pada pemilu 2015. Ketiga hal penyebab kudeta tersebut semakin rumit ketika Tatmadaw mendekati Rusia. manuver Tatmadaw ditempuh pada saat pemerintahan AS berganti kepada Joe Biden yang internasionalis dan tengah membuka front dengan Rusia.
Hubungan Tatmadaw dengan Rusia sendiri kian dekat belakangan ini, dengan komitmen Rusia untuk memasok senjata ke Tatmadaw. Siklus kekerasan di Myanmar yang belum usai bahkan bisa semakin panjang dikhawatirkan akan berimplikasi luas ke lintas batas Myanmar, sementara nuansa perang pengaruh antarnegara besar bisa membuat tetangga-tetangga Myanmar di ASEAN sulit bersikap. Tetapi mengingat apa yang terjadi di Myanmar saat ini lebih dari krisis politik biasa atau kudeta militer biasa seperti pernah terjadi di Thailand pada 2014, ASEAN mesti bersikap lebih tegas. Bukan saja demi menciptakan situasi politis di Asia Tenggara untuk tidak dijadikan medan pertarungan pengaruh negara- negara besar, namun juga demi mencegah kemungkinan tercipta krisis kemanusiaan yang lebih parah karena sumbu-sumbu konflik etnis di Myanmar sangat mudah tersulut menjadi konflik yang berkepanjangan dan masih menyisakan banyak pekerjaan rumah bagi Myanmar, khususnya krisis Rohingya.
–– Anna Yulia Hartati SIP MA, dosen Hubungan Internasional dan Kepala Lab Diplomasi FISIP, Universitas Wahid Hasyim Semarang.
Leave a Comment