“Juru bicara kantor politik Taliban, Mohammad Naeem, menyatakan bahwa Taliban tidak ingin hidup dalam isolasi dan menyerukan hubungan internasional yang damai dengan seluruh negara di dunia. Taliban saat ini berusaha untuk memproyeksikan wajah yang lebih moderat. Kelompok ini menjanjikan untuk menghormati hak-hak perempuan Afganistan dan melindungi warga asing, dan seluruh masyarakat negara itu.”

TALIBAN berhasil menduduki Kabul dan Istana Kepresidenan pada hari Minggu tanggal 15 Agustus 2021 (CNN,15/8). Setelah satu bulan terus menggempur tentara pemerintah dan merebut kota-kota penting, akhirnya Kabul bisa dikuasai dan mengambil alih Istana Kepresidenan Afganistan.

Bagaimana Afganistan di bawah kendali Taliban? Adakah celah perdamaian di Afganistan? Salah satu konflik yang paling menyita perhatian dunia akhirakhir ini adalah konflik di Afganistan, seiring dengan ditariknya pasukan AS dari Afganistan.

Perang Afganistan telah berlangsung selama 19 tahun, diawali oleh Amerika Serikat kepada al- Qaeda dan Taliban lalu kemudian menjadi perang antara pemerintah Afganistan dan Taliban. Kejadian serangan teroris 9/11 yang dipimpin oleh Al-Qaeda telah menjadi pemicu awal perang Afganistan.

Deklarasi War of Terror oleh Presiden AS George WBush telah menjadikan terorisme sebagai musuh dunia yang harus dilawan bersama-sama dan dalam melawan teroris, AS mengintervensi dan menyerang Afganistan atau disebut sebagai Operation Enduring Freedom (OEF) ke Afganistan.

Bush dengan segera meminta pemerintah Taliban untuk menyerahkan pemimpin al-Qaeda Osama bin Laden yang bersembunyi di Afganistan, tetapi al-Qaeda justru didukung oleh rezim Taliban sehingga AS dengan sigap menyerang Afganistan.

Melalui deklrasi War on Terror, Bush menjadikan hal tersebut sebagai justifikasi untuk menggalang dukungan dari semua negara untuk menyerang dan mengintervensi ke al-Qaeda dan Taliban di Afganistan pada 7 Oktober 2001 (Taddeo, 2010) Selama intervensi dan serangan AS di Afganistan berlangsung, Taliban telah jatuh pada 2001 dan pemerintahan Afganistan yang terpilih telah menggantikan Taliban.

Perubahan dari rezim Taliban ke pemerintah Afganistan telah menjadi sebuah transisi ke pemerintahan yang demokratis (Thomas, 2020). Proses pemilihan presiden dan parlemen dilakukan dengan voting, bukan lagi menunjuk pemimpin dari sebuah perjanjian atau pilihan oleh beberapa pemimpin seperti di bawah rezim Taliban.

Pemilihan presiden pertama di Afganistan dilaksanakan pada tahun 2004 yang dimenangkan Karzai, kemudian pemilu tahun 2014 dan 2019 lalu dalam pemilihan presiden dimenangkan oleh Ashraf Ghani.

Kurang Optimal

Konflik Afganistan multidimensi, melibatkan aktor Afganistan, regional, dan global. Karena kompleksitas yang melekat, tidak ada pelaku tunggal yang memegang kunci penyelesaian krisis sehingga proses perdamaian di Afganistan berlangsung lama dan sulit serta diliputi skeptisisme (Kaura, 2018).

Peran komunitas internasional seperti PBB, serta negara adidaya dan negara kawasan dinilai kurang optimal dalam mengawal proses perdamaian di Afganistan.

Setidaknya ada tiga hal yang bisa menjadi harapan bagi terciptanya perdamaian yang hakiki di Afganistan, yaitu: Pertama, Taliban belajar Islam Moderat. Sejak 2017, ulama dan beberapa faksi di Afganistan telah melakukan dialog dan silaturahmi dengan melibatkan Nahdlatul Ulama (NU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Mereka sangat terkesima dengan fakta yang ada karena para ulama dan ormas di Indonesia mampu merajut perdamaian, khususnya dalam rangka membangun kecintaan pada Tanah Air. Para ulama Afganistan mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap peran-peran kultural dan kebangsaan yang dilakukan NU sejak sebelum kemerdekaan hingga saat ini.

NU terbukti menjadi pilar penting dalam membangun kecintaan pada Tanah Air dan melahirkan wawasan keagamaan yang moderat, toleran, dan humanis.

Sebagai organisasi sosial keagamaan, NU turut berperan dengan melakukan pendekatan kultural kepada para tokoh dan ulama Afganistan secara menyeluruh.

Kemudian berperan sebagai fasilitator dalam upaya mediasi antarpihak yang terkait dengan konflik, sehingga menghasilkan kesepakatan dan kerja sama yang berguna bagi perkembangan upaya perdamaian tersebut. NU diasumsikan tidak memiliki kepentingan yang bersifat politis, sehingga dengan mudah dapat menjalin hubungan dan mendapat kepercayaan, baik dari pihak pemerintah, tokoh masyarakat, organisasi lokal, ulama, serta kelompok militan seperti Taliban.

Setelah terbangun hubungan dan kepercayaan, melalui upaya mediasi, NU menjadi fasilitator sebagai penengah dalam dialog yang mempertemukan para tokoh dan ulama, sehingga kemudian melahirkan beberapa joint statement dan kerja sama. Salah satu buah kerja sama yang sangat penting bagi perkembangan proses perdamaian. Kedua, kehadiran NUA. Para ulama Afganistan berinisiatif untuk mendirikan Nadlatul Ulama Afganistan (NUA).

Nama organisasinya langsung menggunakan Nahdlatul Ulama, karena bagi mereka para ulama mempunyai peran penting dalam mengakhiri konflik dan membangun Afganistan. Jika para ulama mampu mendorong transformasi sosial dan politik yang lebih konstruktif, maka akan berdampak positif bagi masa depan Afganistan yang baik, karena tidak mudah mengajak Taliban untuk berunding, berdialog, dan bernegosiasi dalam mewujudkan perdamaian.

Ketiga, Taliban baru yang lebih moderat. Pernyataan juru bicara kantor politik Taliban, Mohammad Naeem, bahwa Taliban tidak ingin hidup dalam isolasi dan menyerukan hubungan internasional yang damai dengan seluruh negara di dunia. Naeem juga mengatakan bahwa Taliban saat ini berusaha untuk memproyeksikan wajah yang lebih moderat.

Kelompok ini menjanjikan untuk menghormati hakhak perempuan Afganistan dan melindungi warga asing, dan seluruh masyarakat negara itu. Serumit apa pun konflik yang terjadi di Afganistan, pasti ada celah yang bisa dilakukan untuk mewujudkan perdamaian yang hakiki.

Tentunya pihak-pihak yang berbeda di dalam negeri Afganistan harus memulai untuk memiliki rasa memiliki sebagai suatu bangsa yang utuh. Semoga perjalanan proses perdamaian yang cukup panjang di Afganistan segera berakhir dan perdamaian yang hakiki segera terwujud.(34)

–– Anna Yulia Hartati SIP MA, dosen Hubungan Internasional dan Kepala Laboratorium Diplomasi FISIP Universitas Wahid Hasyim Semarang.

KUDETA militer pada awal tahun 2021 seakan bukan hal yang asing bagi rakyat Myanmar. Sebelum pemilu demokrasi 2010 berlangsung, negara yang dulu dikenal dengan sebutan Burma itu berada di bawah kepemimpinan junta militer sejak 1962-2011. Pada tahun 1962 atau empat belas tahun setelah merdeka dari kolonial Inggris, Tatmadaw yang berada di bawah kepemimpinan Jenderal Ne Win menggulingkan pemerintahan sipil.

Sejak itu, Myanmar dikendalikan oleh rezim otoriter militer. Kudeta itu berlangsung akibat ketakutan militer atas pemerintah sipil yang mereka anggap gagal menindak gerakan etnis minoritas dan kelompok bersenjata. Kudeta 1962 terbilang awal dari ambisi Tatmadaw menguasai pucuk pemerintahan Myanmar. Sekitar 26 tahun kemudian, Myanmar diguncang protes massal yang berbuntut penggulingan Jenderal Ne Win. Pucuk kekuasaan kembali dipegang oleh junta militer yang baru. Sejarah berulang Kembali, tepatnya pada hari Senin (01/02/2020) pasukan militer menahan pemimpin defacto Myanmar Aung San Suu Kyi dan sejumlah politikus lainnya, sebelum mengambil alih kendali negara. Kudeta terjadi setelah ketegangan meningkat antara pemerintah sipil Suu Kyi dan militer setelah hasil pemilihan umum yang disengketakan. Dalam pemilu yang diadakan November 2015, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi memenangkan cukup kursi untuk membentuk pemerintahan. Kudeta merupakan suatu permasalahan internal dalam negara yang menyangkut pergantian kekuasan yang telah lama dan sering terjadi di berbagai negara. Mengapa militer melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil di Myanmar? Kudeta militer yang terjadi di Myanmar dikategorikan sebagai pengawal pretorian. Pengawal pretorian umumnya muncul jika pemerintahan sipil dianggap gagal dalam menjalankan kekuasaan dan militer akan langsung masuk ke dalam politik dengan mengambil alih kekuasaan dan memegang kekuasaan tersebut untuk sementara dengan alasan untuk memperbaharui dan memperbaiki arah kebijakan pemerintahan sebelumnya namun dengan cara melakukan perubahan sosial dan ekonomi yang antara lain merombak susunan pemerintahan sebelumnya secara drastis.(Eric. A. Nordlinger, 1990). Kudeta dan pretorianisme saling terhubung, karena hampir semua kudeta dilakukan oleh kalangan militer, padahal dalam demokrasi militer haram hukumnya untuk masuk dalam politik kecuali purnawirawan militer.

Myanmar yang dikenal sebagai negara dengan sistem pemerintahan junta militer, yang kerap kali menjadi pusat perhatian dunia dan masyarakat internasional atas berbagai isu global dan pelanggaran yang mana di dalamnya terdapat campur tangan militer yang ikut serta dalam lembaga politik serta menjalankan pemerintahan secara refresif dan otoriter melakukan berbagai pelanggaran HAM, pelanggaran demokrasi, serta pengusiran Rohingya.

Kesulitan Integrasi

Sejak Myanmar merdeka pada tanggal 4 Januari 1948, negara itu memiliki kesulitan untuk berintegrasi, bahkan sulit mencari identitas nasionalnya. Karena persaingan antaretnis yang bahkan saling mempersenjatai diri. Setidaknya ada 17 kelompok pemberontak bersenjata yang memperjuangkan otonomi dan bahkan kemerdekaan. Itu termasuk Arakan Army di Rakhine yang berpenduduk mayoritas etnis Rakhine yang sejak lama berperang melawan militer pemerintah pusat yang disebut Tatmadaw. Di Rakhine, etnis-etnis minoritas termasuk Rohingya, terjebak antara Tatmadaw dan Arakan Army sampai pada tahun 2013 sejumlah warga Rohingnya alumni Timur Tengah membentuk Arakan Rohingya Salvation Army. Kelompok-kelompok etnis bersenjata ini sudah seperti organisasi tentara profesional yang dilengkapi persenjataan canggih seperti peluncur granat dan bahkan kendaraan tempur. Bamar adalah etnis terbesar di Myanmar yang berjumlah 68 persen dari total penduduk.

Sisanya adalah puluhan etnis minoritas, termasuk tujuh etnis minoritas besar; Chin, Kachin, Kayin, Kayah, Mon, Arakan atau Rakhine, dan Shan. Ketujuh etnis itu menjadi mayoritas di tujuh negara bagian Myanmar yang dinamai sama dengan nama ketujuh etnis itu. Selain itu, ada tujuh kawasan dan daerah khusus ibu kota Naypyidaw yang semuanya berpenduduk mayoritas Bamar. Berdasarkan laporan dari Crisis Group pada 28 Agustus 2020, sebagaimana etnis-etnis minoritas lainnya di Rakhine, etnis Rohingya yang minoritas terbesar di negara bagian itu terjepit antara Arakan Army dan Tatmadaw. Melihat situasi seperti ini, tak heran hal pertama yang ditempuh Suu Kyi setelah memenangkan pemilu 2015 adalah rekonsiliasi nasional. Proyek rekonsiliasi nasional pun akhirnya mengalami kegagalan.

Penyebab Kudeta

Setidaknya ada tiga hal yang menjadi penyebab kudeta militer di Myanmar. Pertama, klaim Tatmadaw adanya kecurangan hasil Pemilu 8 November 2020. Hal ini berawal dari tuduhan kecurangan daftar pemilih dalam pemungutan suara, meskipun komisi pemilihan mengatakan tidak ada bukti yang mendukung klaim tersebut. Kedua, kegagalan pemerintah untuk menindaklanjuti tuduhan kecurangan tersebut. Militer juga mengatakan pemerintah gagal untuk menunda pemilihan karena pandemi Covid- 19. Ketiga, adanya intervensi asing. Adanya tuduhan dari Tatmadaw bahwa ada China yang menyetir politik domestik Myanmar sampai dianggap berada di balik kemenangan Suu Kyi pada pemilu 2015. Ketiga hal penyebab kudeta tersebut semakin rumit ketika Tatmadaw mendekati Rusia. manuver Tatmadaw ditempuh pada saat pemerintahan AS berganti kepada Joe Biden yang internasionalis dan tengah membuka front dengan Rusia.

Hubungan Tatmadaw dengan Rusia sendiri kian dekat belakangan ini, dengan komitmen Rusia untuk memasok senjata ke Tatmadaw. Siklus kekerasan di Myanmar yang belum usai bahkan bisa semakin panjang dikhawatirkan akan berimplikasi luas ke lintas batas Myanmar, sementara nuansa perang pengaruh antarnegara besar bisa membuat tetangga-tetangga Myanmar di ASEAN sulit bersikap. Tetapi mengingat apa yang terjadi di Myanmar saat ini lebih dari krisis politik biasa atau kudeta militer biasa seperti pernah terjadi di Thailand pada 2014, ASEAN mesti bersikap lebih tegas. Bukan saja demi menciptakan situasi politis di Asia Tenggara untuk tidak dijadikan medan pertarungan pengaruh negara- negara besar, namun juga demi mencegah kemungkinan tercipta krisis kemanusiaan yang lebih parah karena sumbu-sumbu konflik etnis di Myanmar sangat mudah tersulut menjadi konflik yang berkepanjangan dan masih menyisakan banyak pekerjaan rumah bagi Myanmar, khususnya krisis Rohingya.

–– Anna Yulia Hartati SIP MA, dosen Hubungan Internasional dan Kepala Lab Diplomasi FISIP, Universitas Wahid Hasyim Semarang.

“Together with Junggu, so that Kota Lama becomes more lively and becomes one of the international tourist destinations”, was a statement from the mayor of Semarang Hendrar Prihadi in 2018. an international wealth. One way is to establish a sister city partnership with Junggu City, South Korea. Jung Gu as one of the centers of modernity in South Korea with good practices can continue to encourage cultural heritage buildings as one of the city’s attractions. Semarang Mayor Hendrar Prihadi wants to learn and know how everything was developed in Jung Gu and success in developing a city with cultural heritage. Oudetrap is a building owned by the Semarang City Government, which was renovated with the city government of Jung Gu so that the old city becomes more lively and becomes one of the international tourist destinations.

The benefits expected in the implementation of the Sister City collaboration carried out by the city/regency include: exchanging knowledge and experience about development in their respective fields; encourage the growth of initiatives and active roles of local governments, communities and the private sector; improve the optimization of regional potential management; accelerate the friendship between the government and the people of the two sides; cultural exchange in order to enrich the local culture.

In order to strengthen the sister city relationship between the Semarang City Government and the Jung-Gu Government, Ulsan Metropolitan City, Korea which has been established since 2013, the Mayor of Jung-Gu, Ulsan Metropolitan City, Korea invited the Mayor of Semarang and his staff to visit Jung-Gu for negotiate a follow-up plan for the cooperation agreement to a higher level, namely from the LoI to the MoU as the main umbrella for technical agreements between services that will be cooperated by the two cities.

The working visit was carried out on 9-14 August 2015. The Semarang City Government Delegation consisting of the Semarang City Highways Service, Semarang City Bappeda and the Semarang City Secretariat Cooperation Section visited Jung-Gu City, Ulsan Metropolitan City, South Korea to learn, exchange experiences and transfer knowledge in the field of urban development planning and infrastructure development, especially roads and bridges and their associated variables. In addition to participating in the group, the legislative element represented by the Deputy Chair of the Semarang City Representative Council to discuss with the Jung-Gu City Representative Council regarding the synchronization and harmonization of the legislative element with the main executive element in discussing the interests and needs of the City of Semarang in budget allocation and monitoring of government performance. During the visit, discussions were discussed on the discourse of making an Action Plan by the technical services, namely the Bina Marga Office of Semarang City and Jung-gu City in order to immediately realize a collaboration that can be implemented in a real and mutually beneficial way for both cities. The Work Plan was then immediately compiled and discussed by the two agencies until a consensus was reached and finally in September 2015, Mayor Jung-Gu and his staff and members of the Representative Council as well as several Jung-Gu community leaders visited Semarang City to sign the Work Plan as well as a visit. reply. Until the end of 2015 the Department of Highways of Semarang City and the Department of Highways of Jung-Gu had established communication and the Department of Highways of Jung-Gu again visited Semarang City regarding the realization of the program in the said Work Plan. It is planned that in 2016 the Department of Highways of Semarang City will send its staff for internship at the Department of Highways of Jung-Gu and Mayor of Jung-Gu will also invite the Mayor of Semarang to visit Jung-Gu in order to sign the MoU. The MoU concept has been submitted to the Semarang City Representative Council for approval.

The two mayors signed a cooperation agreement ranging from urban planning to tourism. Located at the Jung-Gu government office, Hendrar and Sung Min signed four points of cooperation, namely, first, related to urban planning and infrastructure. Second, cultural exchange and tourism. Third, cooperation in the fields of economy, trade and investment. Fourth, cooperation in exchanging information in education, sports, and improving human resources. Semarang Mayor Hendrar Prihadi said that the visit to South Korea and the signing of the cooperation was a form of seriousness in following up and realizing the Sister City collaboration that had been initiated since 2012. In the MoU there were 5 (five) areas that were collaborated between the city of Semarang and the city of Jung Gu, including:

  1. Urban Planning and Urban Infrastructure especially Roads and Bridges
  2. Tourism and Culture;
  3. Economy, Trade and Investment;
  4. Health
  5. Education, Science and Technology and Professional Training.

Indonesia semakin memposisikan dirinya sebagai pemain kunci dalam diplomasi regional dan global, menekankan multilateralisme dan partisipasi aktif dalam organisasi internasional. Peran Kementerian Luar Negeri sangat penting dalam meningkatkan jangkauan diplomatik Indonesia, dengan fokus pada diplomasi ekonomi dan pertukaran budaya untuk memperkuat ikatan bilateral. Selain itu, integrasi strategi soft power telah disorot sebagai sarana untuk meningkatkan citra global Indonesia dan mendorong kerjasama dalam berbagai isu, termasuk perubahan iklim dan keamanan. Namun, tantangan tetap ada, seperti menavigasi dinamika geopolitik yang kompleks dan memastikan pembangunan berkelanjutan dalam keterlibatan diplomatiknya. Secara keseluruhan, dekade terakhir mencerminkan komitmen Indonesia terhadap kebijakan luar negeri yang proaktif dan inklusif yang berupaya menyeimbangkan kepentingan nasional dengan tanggung jawab global.

Perjalanan diplomasi Indonesia selama 10 tahun telah ditandai dengan beberapa tonggak penting yang mencerminkan perannya yang berkembang di panggung global. Dalam rangka merayakan 10 Tahun perjalanan diplomasi Indonesia, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menyelenggarakan kuliah umum secara serentak di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Untuk Jawa Tengah, FISIP UNWAHAS ditunjuk sebagai Tuan Rumah kegiatan 10 Tahun perjalanan Diplomasi Indonesia,  yang digelar pada hari Selasa/ 20 Agustus 2024. Berbicara tentang Diplomasi Indonesia, awalnya negara ini berfokus pada penguatan hubungan bilateral, khususnya dengan negara-negara tetangga Asia Tenggara, untuk meningkatkan stabilitas regional dan kerjasama ekonomi. Ini diikuti oleh partisipasi aktif Indonesia dalam forum multilateral, seperti ASEAN dan G20, di mana ia menganjurkan aksi kolektif pada isu-isu global yang mendesak seperti perubahan iklim dan pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Pencapaian penting adalah kepemimpinan Indonesia dalam mempromosikan konsep “diplomasi inklusif,” yang menekankan pentingnya melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil dan sektor swasta, dalam proses diplomatik. Selain itu, komitmen Indonesia terhadap misi penjaga perdamaian dan penyelesaian konflik di wilayah seperti Laut China Selatan telah menggarisbawahi aspirasi dan tanggung jawab diplomatik.  Secara keseluruhan, tonggak sejarah ini menggambarkan pendekatan strategis Indonesia terhadap diplomasi, menyeimbangkan kepentingan nasional dengan tanggung jawab global.

Selama dekade terakhir, diplomasi Indonesia telah berkembang secara signifikan, ditandai dengan pergeseran ke arah pendekatan yang lebih tegas dan beragam. Studi terbaru menyoroti upaya Indonesia untuk meningkatkan posisi globalnya melalui partisipasi aktif dalam organisasi internasional dan forum regional, mencerminkan komitmen terhadap multilateralisme dan kerja sama dalam mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim dan masalah keamanan (Ganewati, 2017) . Selain itu, Indonesia telah berfokus pada penguatan hubungan bilateral, khususnya dengan kekuatan besar, untuk meningkatkan hubungan ekonomi dan kemitraan keamanan . Strategi diplomatik negara itu juga termasuk mempromosikan diplomasi budayanya, yang bertujuan untuk meningkatkan soft power dan menumbuhkan saling pengertian. Namun, tantangan tetap ada, termasuk menavigasi ketegangan geopolitik yang kompleks di kawasan Asia-Pasifik dan menyeimbangkan kepentingan nasionalnya dengan ekspektasi internasional . Secara keseluruhan, evolusi diplomatik Indonesia menunjukkan perpaduan strategi tradisional dan inovatif yang bertujuan memposisikan bangsa sebagai pemain kunci di panggung global.

Selama dekade terakhir, diplomasi Indonesia telah berkembang secara signifikan, ditandai dengan berbagai inisiatif strategis di berbagai bidang. Dari 2019 hingga 2020, peran Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB menyoroti komitmennya untuk memerangi terorisme melalui kerja sama internasional dan mekanisme penegakan hukum. Bersamaan dengan itu, diplomasi budaya telah memainkan peran penting, dengan mempromosikan Batik dan Tenun Endek sebagai simbol warisan Indonesia, secara efektif meningkatkan soft power bangsa di forum global seperti ASEAN dan APEC (Evi. S, 2024).

 Selain itu, Indonesia telah berfokus untuk melindungi hak-hak pekerja migrannya di Malaysia, yang berpuncak pada Nota Kesepahaman pada tahun 2022 yang menggarisbawahi upaya diplomatiknya dalam advokasi hak asasi manusia. Penyelesaian sengketa perbatasan darat dengan Timor Leste di bawah Presiden Joko Widodo lebih menggambarkan komitmen Indonesia terhadap diplomasi bilateral, mencapai kesepakatan signifikan tentang demarkasi perbatasan. Upaya diplomasi publik bertujuan untuk mempromosikan mode Indonesia secara internasional, menunjukkan potensi industri kreatif dalam meningkatkan citra global bangsa. Secara kolektif, inisiatif ini mencerminkan pendekatan multifaset terhadap diplomasi yang menyeimbangkan kepentingan budaya, kemanusiaan, dan geopolitik.

Indonesia saat ini menghadapi beberapa tantangan diplomatik yang berasal dari dinamika regional dan global. Salah satu masalah yang signifikan adalah ketegangan yang sedang berlangsung di Laut China Selatan, di mana Indonesia harus menavigasi klaim teritorialnya sambil mengelola hubungan dengan China dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, yang memperumit posisinya sebagai pemimpin regional . Selain itu, peran Indonesia dalam forum internasional, seperti G20, ditantang oleh kebutuhan untuk menyeimbangkan prioritas domestiknya dengan ekspektasi global, terutama mengenai perubahan iklim dan pemulihan ekonomi pasca-COVID-19. Selain itu, kebangkitan nasionalisme di Indonesia menimbulkan tantangan bagi kebijakan luar negerinya, karena pemerintah harus mendamaikan sentimen domestik dengan kebutuhan kerja sama internasional. Terakhir, upaya Indonesia untuk memperkuat hubungan bilateral, terutama dengan kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan Australia, sering terhalang oleh keluhan sejarah dan persaingan geopolitik kontemporer . Tantangan yang beragam ini mengharuskan Indonesia untuk mengadopsi pendekatan strategis dan bernuansa diplomasinya.

Implementation of Sister City cooperation on the other hand, it is undeniable that the reality shows the benefits of Sister City cooperation have not fully touched all levels of society in Semarang City. Efforts to improve economic fundamentals within the framework of developing the regional economy is to develop a government network which is part of the formation of capacity building to realize good governance that leads to mutual benefits. The fact that regions must have various limitations to carry out various developments, and urban planning is a substantial reason for the possibility of self-learning processes and collaboration with other parties, which allows regions to have the freedom to learn from each other and share experiences (action and learning by doing), one of which is is to develop the Sister City model with cities in other countries, so that there will be an exchange of experiences from other places, through a planned network. The Sister City collaboration, is very helpful in the fast learning process in the regions, creating a linkage of wider interests (broad base).

Handling  Sister City collaboration problems requires government policies that are more comprehensive and cross-sectoral. Sister City collaboration development cannot stand alone because it is a collective product. so that maximum benefits can only be achieved if the growth of Sister City is in line with the maintenance and development efforts of other sectors. The development of Sister City must also consider the carrying capacity of the city because the development of Sister City cooperation will have a broad impact, not only increasing the role of Sister City economically, but also becoming a multiplier effect for the development of other sectors. The government needs to give greater attention to the phenomenon of Sister City collaboration relations in Indonesia, both through provisions of laws that can create a conducive atmosphere as well as through guidance and encouragement so that Sister City collaboration activities are useful in an effort to accelerate the development of cities and regions in Indonesia.

City diplomacy is generally understood as a form of diplomacy conducted by subnational
actors, an interplay between “diplomatic and urban practice” that seeks to influence the
international environment for the purpose of safety, security, and prosperity of local citizens as well as the advancement of global interest and identity. As one of the subnational actors, cities can also help to promote national interest and the nation’s image in international world.

The involvement of actors at this level is known as paradiplomacy, which is defined simply as the involvement of subnational governments through the establishment of formal or informal ties with foreign public or private entities, permanent or temporary (ad hoc), with the objective of promoting social, economic, cultural or political dimensions of development. One of the variations of paradiplomacy is city diplomacy. In the 2000s, an approach, in the field of international relations and regional government studies, which more specifically
observes the role of cities emerged.

In 2006, there was a working conference held by the City Diplomacy Committee in Perugia, Italy. This event, which became known as the Perugia Meeting, was a mutual sharing forum among 40 participants that consisted of local authorities from various countries, they discussed about how local governments can play a role in global issues such as conflict prevention, conflict resolution, and post conflict reconstruction. In 2008, The 1st World Conference of city diplomacy was arranged by the City Government of Den Haag, the Netherlands and resulted in a more comprehensive academic article on city diplomacy, in terms of definition and description on the limitation of roles that local authorities can actually perform.


The established assumption is that there are many cross-national conflicts occurring at the local level, or conflicts that are geographically located in cities. Meanwhile, there seems to be a more extensive argumentation in academic studies, wherein local authorities can play a greater role, particularly by collaborating with global actors, or with similar-level local actors in other countries that are reputable or have a global reach. This terminology led to the view that city diplomacy is achieved by involving cities with other “glocal” actors and conducting various joint activities, such as “facilitating communication, negotiating agreements, gathering information, preventing conflicts, and symbolizing the existence of an international community”

Based on this perspective, the practice of city involvement in international relations is nothing new at all. What can be considered new is the nature and scope of city diplomacy that have developed more intensely and extensively. Its intensity relates to issues included in the city’s area of involvement and its extensiveness relates to the extent of authority that the city has, in accordance with the mandate given by the central government.

International studies have long restricted the role of cities, based on assumptions of “separateness, discontinuity, and exclusivity”, cities are positioned as part of the national authority. Such perspective has been a restricting factor for cities when they carry out their role as a diplomatic actor, this has accordingly led to differences in understanding city-based diplomacy activities and traditional foreign politics.